keikhlasan

Kebahagian dalam hidup ini hanya dapat digapai hanya dengan keikhlasan menjalaninya dengan segala kesungguhan yang ada dengan ilmu dan strategi tanpa pernah berharap apapun

Minggu, 28 Februari 2010

Risalah Waduk Darma

RISALAH WADUK DARMA.

I. LOKASI.

Waduk Darma terletak di sebelah Barat Daya kota Kuningan dengan jarak ± 12 Km. Desa terdekat adalah Desa Darma, kecamatan KaduGede, Kabupaten Kuningan. Letaknya sangat Strategis/ dilalui jalan propinsi yang menghubungkan ke kota Kuningan – Ciamis – Majalengka.
Pinggir Waduk Darma di kelilingi/dibatasi oleh Beberapa Desa, diantaranya :

1. Desa Darma
2. Desa Parung
3. Desa Cikupa
4. Desa kawah manuk
5. Desa Cipasung
6. Desa paniggaran
7. Desa Sakerta
8. Desa Jagara

Sungai yang di bendung hulu sungai Cisanggarung yang mengalir dari arah selatan waduk, dengan beberapa buah anak sungai yang kecil diantaranya :
Kali Cilandak dan kali Cinangka, Cireungit, Cikowek, Cisarai, Cisanggarung, Cibelut, Cirame, Cikalopa, Cikupa = 11 Anak kali. Disamping itu juga sekitarnya terdapat sumber-sumber mata air yaitu : Mata Air Cibuntu ( balong Darma ), mata air balongbenteur dan mata air cibitung dengan dabiet masing masing kira kira berkisar 100 – 300 L/det.

II. RIWAYAT SINGKAT PEMBANGUNAN WADUK DARMA :

Tahun 1924 Pemerikasaan pertama remcana pembuatan Waduk Darma oleh Ir.C.A. de Jongh dari Jawatan Tambang, atas usulan pabrik Gula yang di dukung oleh bagian Irigasi Cimanuk.
Mula mula rencana tersebut mendapat tantangan dari pihak penduduk di daerah daerah yang akan tergenak air Waduk.

Tahun 1929 Atas desakan Direktur B.O.W. ( D.P.U ) akhirnya penelitian penelitian mulai dilakukan.

Tahun1930 Jawatan pertanian Cirebon mengkalkulasi rencana biaya sekitar ....1,500.000,-
Akan tetapi pemerintah menganggap terlalu berat apabila seluruh biaya di bebankan kepada pemerintah.
Sebagai konskwensi pemerintah Pabrik Gula mereka menyanggupi untuk menanggung sebagian biaya tersebut.
Tahun 1935-1936
Diadakan penyelidikan Geologi di tempat rencana Bendungan oleh A. Harting dan mengenai sifat-sifat tanah oleh Prof. Springer.
Tahun 1956-1957
Penyelidikan mekanika tanah oleh L.P.M.A. setelah diadakan penyelidikan yang matang maka Dirjon Pengairan (1957) memutuskan bahwa type bendungan yang dipakai adalah ” Roolafil” dengan menggunakan Plat beton pada permulaanya. Sedangkan perencanaan bangunan tersebut adalah P.T. Gatoni Bandung.
Tahun 1958-1962
Pelaksanaan pembangunan Waduk Darma sampai selesai dan langsung dapat berfungsi.

Erosi

Berbicara mengenai debit air dan kadar lumpur tidak lepas daripada pembicaraan mengenai limpasan dan erosi karena besarnya limpasan dan erosi ini akan mempengaruhi debit air dan kadar lumpur. Baver (1959) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi erosi adalah iklim (C), topografi (T), sifat dan jenis tanah (S), vegetasi (V), dan manusia (M). Hubungan tersebut dirumuskan secara deskriptif sebagai berikut:
E = f (C.T.S.V.M.) ........................................................................(1)
Oleh Arsyad (1975) E dalam rumus di atas diartikan sebagai "kerusakan lahan. Variabel dalam persamaan tersebut ada pada batas-batas tertentu dapat diubah dan ada yang secara langsung tak dapat diubah. Faktor-faktor yang dalam batas-batas tertentu dapat diubah adalah faktor vegetasi, topografi, dan sifat tanah. Faktor iklim tak dapat diubah sedangkan faktor manusia tergantung pada perlakuan yang diterapkan dalam penggunaan lahan. Wischemeier (1959) dan Wischemeier dan Mannering (1969) dalam Arsyad (1975) (dalam tesis M. Nad Darga Talkurputra, 1979) memperkenalkan suatu istilah energi-intensitas hujan (El) yang merupakan pengukur terbaik bagi pengaruh bersama antara hujan terhadap erosi. El disebut pula sebagai Indeks Erosi Potensial.
Vegetasi mempengaruhi aliran permukaan dan erosi melalui (a) intersepsi air hujan oleh bagian vegetatif sehingga mengurangi banyaknya air yang sampai ke tanah, (b) mengurangi jatuh butir-butir hujan dan daya angkut aliran permukaan oleh bagian vegetatif dan sisa-sisa vegetatif yang tersebar di atas permukaan tanah, (c) memperbesar. porositas tanah dan kapasitas penyerapan air oleh akar dan sisa-sisa vegetasi di dalam tanah yang memperbaiki struktur tanah, dan mengurangi kadar air tanah melalui transpirasi (Tedjojuwono, 1959; Arsyad, 1975).
Faktor topografi yang mempengaruhi aliran permukaan dan erosi adalah tingkat kemiringan tanah dan panjang lereng. Hubungan antara tingkat kemiringan tanah dan panjang lereng dirumuskan oleh Zing (1940, dalam Baver, 1956) sebagai berikut:
a. Untuk tingkat kemiringan tanah :
Xc = 0.0025 L1.53 .................................................................... (2)
b. Untuk panjang lereng :
Xc = 0.65 SH49 ........................................................................ (3)
c. Untuk keduanya (kemirngan tanah dan panjang lereng) :
Xc = CS1.4L1.6....................................................................... (4)
sedangkan :
Xc = banyaknya tanah yang terangkut (ton/acre)
L = panjang lereng (ft)
S = kemiringan tanah (%)
C = konstanta yang tergantung pada kecepatan infiltrasi, sifat fisik
tanah, intensitas dan lamanya hujan.
Hubungan antara kemiringan tanah dan kecepatan air mengalir di atas permukaan tanah sebanding dengan pangkat dua kekuatan mengikis atau mengerosi tanah, pangkat enam besarnya butir bahan yang tererosi dan pangkat lima besarnya bahan yang terangkut.
Sifat tanah yang berperan terhadap erosi adalah kapasitas infiltrasi tanah dan stabilitas agregat tanah dengan memperhatikan jenis tanah yang memiliki kepekaan erosi yang berbeda-beda tergantung dari sifat-sifat fisik tanah tersebut.
Erodibilitas tanah ditentukan oleh sifat-sifat fisik tanah, antara lain tekstur, struktur, kandungan bahan organik dan susunan kimia tanah. Thompson (1957) menambahkan ke empat faktor tersebut di atas faktor kedalaman tanah, sifat-sifat tanah, dan kesuburan tanah. (Bennett 1939 yang disadur oleh Talkurputra M. Nad
Darga 1979). Tanah Latosol dan Laterit yang mempunyai kepekaan erosi kecil, sedangkan jenis tanah Mediteran Merah Kuning mempunyai kepekaan erosi sedang hingga besar Mengenai pengaruh hutan terhadap debit air dan hasil sedimen, Manan (1977) mengemukakan hutan mempunyai pengaruh, baik terhadap pengurangan perbedaan fluktuasi debit sepanjang tahun maupun kualitas airnya. Sungai-sungai dan danau danau yang tidak terganggu manusia mempunyai kualitas yang baik dan tinggi, seperti danau Poso, Towuti di Sulawesi Tengah. Keadaan debit air dan hasil sedimen serta kualitas air di perairan sungai merupakan cerminan dari pada pengelolaan daerah aliran sungai yang bersangkutan, di samping kondisi fisik lingkungannya. Sampurno (1976) menyatakan bahwa tutupan lahan / hutan di hulu akan memberikan pengaruh (sangat berakibat) di bagian hilir, yaitu tidak terjadi pendangkalan sungai secara cepat, berkurangnya banjir, cukupnya air tanah dan air permukaan serta berkurangnya pengendapan lumpur di pantai.

2.1.2.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Erosi
Iklim dan geologi merupakan faktor utama yang mempengaruhi proses erosi tanah. Karakteristik tanah dan vegetasi, bergantung pada dua faktor terdahulu dan saling pengaruh-mempengaruhi. Untuk memahami kapan dan bagaimana erosi dapat terjadi, identifikasi masing-masing faktor tersebut harus diuji secara detail dan aspek-aspek yang relevan secara tepat. Tanah dipengaruh 6 faktor pembentukan tanah iklim, vegetasi penutup, organisme tanah, komposisi batuan dasar, topografi dan waktu.
1) Iklim
Faktor iklim yang pengaruhnya besar terhadap erosi tanah adalah hujan, temperatur dan suhu. Hujan memainkan peranan dalam erosi tanah melalui tenaga
pelepasan dari pukulan butir-butir hujan pada permukaan tanah dan sebagian melalui konstribusinya terhadap aliran. Karakteristik hujan yang mempunyai pengaruh terhadap erosi tanah meliputi jumlah atau kedalaman hujan, intensitas dan lamanya hujan. Jumlah hujan yang besar tidak selalu menyebabkan erosi berat jika intensitasnya rendah, dan sebaliknya hujan lebat dalam waktu singkat mungkin hanya menyebabkan sedikit erosi karena jumlah hujannya hanya sedikit. Jika jumlah dan intensitas hujan keduanya tinggi, maka erosi tanah yang terjadi cenderung tinggi. Energi hujan terdiri dari dua komponen; energi potensial (Ep) dan energi kinetik (Ek). Energi potensial timbul adanya perbedaan tinggi antara benda dan titik tinjau. Energi potensial didefinisikan sebagai hasil kali antara massa, beda tinggi, dan percepatan gravitasi, yang dikenal sebagai "indeks erosivits hujan".
2) Tanah
Secara fisik, tanah terdiri dari partikel mineral dan organik dengan berbagai ukuran. Partikel - partikel tersebut tersusun dalam bentuk matriks yang pori-porinya kurang lebih 50%, sebagian terisi oleh air dan sebagian lagi terisi oleh udara. Secara esensial, semua penggunaan tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik tanah. Dalam kaitannya dengan konservasi tanah dan air, sifat fisik tanah yang berpengaruh meliputi: tekstur, struktur, infiltrasi, dan kandungan bahan organik. Batuan dan mineral yang mengalami pelapukan baik secara fisik maupun
kimia menghasilkan partikel dengan berbagai macam ukuran, mulai dari ukuran kerikil (gravel), pasir, lempung sampai liat. Material tanah adalah partikel mineral
yang mempunyai diameter lebih kecil dari 2 mm, meliputi pasir, lempung atau geluh, dan liat. Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif dari berbagai golongan besar partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan antara fraksi-fraksi liat, lempung dan pasir. Distribusi partikel tanah ditentukan dengan saringan, untuk partikel yang lebih besar dari lempung, dan dengan hydrometer untuk partikel halus (liat).
Tekstur tanah digunakan untuk mengidentifikasi ukuran butiran, sedangkan struktur tanah digunakan untuk menerangkan susunan partikel-partikel tanah. Struktur tanah terdiri dari struktur makro dan struktur mikro. Pengaruh struktur tanah terhadap tata air dan tata udara tanah, terutama terhadap permeabilitas atau kemampuan tanah untuk mengalirkan air dan udara dalam tanah. Permeabilitas tanah dapat menghilangkan daya air untuk mengerosi permukaan tanah. Tanah dipengaruh 6 (enam) faktor yang terdiri dari iklim, vegetasi penutup, organisme tanah, komposisi batuan dasar, topografi dan waktu. Faktor erodibilitas tanah ialah kemampuan/ketahanan partikel tanah terhadap pengelupasan dan pemindahan tanah akibat energi kinetik hujan. Nilai erodibilitas tanah selain tergantung pada topografi, kemiringan lereng dan akibat perlakuan manusia, pengaruh tekstur tanah, stabilitas agregat, kapasitas infiltrasi, kandungan bahan organik dan non-organik tanah. Beberapa jenis tanah di Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, nilai K dapat diperoleh sesuai dengan tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jenis tanah dan nilai faktor erodibilitas tanah (K)
No. J e n i s T a n a h Nilai K

1 Latosol coklat kemerahan dan litosol 0,43
2 Latosol kuning kemerahan dan litosol 0,36
3 Komplek mediteran dan litosol 0,46
4 Latosol kuning kemerahan 0,56
5 Grumusol 0,20
6 Alluvial 0,47
7 Regosol 0,40
8 Latosol 0,31
Sumber: Kironoto, 2003

3) Topografi
Faktor topografi umumnya dinyatakan kedalam kemiringan dan panjang lereng. Secara umum erosi akan meningkat dengan meningkatnya kemiringan dan panjang lereng. Pada lahan datar, percikan butir air hujan melemparkan partikel tanah ke udara ke segala arah secara acak, pada lahan miring, partikel tanah lebih banyak yang terlempar ke arah bawah daripada yang ke atas, dengan proporsi yang makin besar dengan meningkatnya kemiringan lereng. Selanjutnya, makin panjang lereng cenderung makin banyak air permukaan yang terakumulasi, sehingga aliran permukaan menjadi lebih tinggi kedalaman maupun kecepatannya. Kombinasi kedua variabel lereng ini menyebabkan laju erosi tanah yaitu kemiringan lereng meningkat secara drastis dengan meningkatnya panjang lereng.
4) Faktor Kemiringan Lereng (LS)
Panjang lereng (L) diukur dari suatu tempat pada permukaan tanah dimana
erosi mulai terjadi sampai pada tempat dimana terjadi pengendapan, atau pada tempat dimana aliran air dipermukaan tanah masuk ke dalam saluran. Dalam
praktek lapangan nilai L sering dihitung sekaligus dengan faktor kecuraman (S) sebagai faktor kemiringan lereng (LS). Departemen Kehutanan memberikan nilai faktor kemiringan lereng, yang ditetapkan berdasarkan kelas lereng, seperti tabel berikut :
Tabel 2.2 Penilaian kelas lereng dan faktor LS
Kelas Lereng Kemiringan Lereng Nilai LS

I 0 – 8 0,40
II 8 – 15 1,40
II 15 – 25 3,10
IV 25 – 40 6,80
V > 40 9,50



Tabel 2.3. Faktor CP untuk hutan

Tipe Hutan Laju Pengambilan Kemiringan
0 - 2% Kemiringan
2 - 15% Kemiringan
15 - 40%

Alam Tinggi 0.0005 0.001 0.0015
Rendah 0.002 0.0005 0.001
Produksi Tinggi 0.001 0.002 0.003
Rendah 0.001 0.001 0.002
Semak 0.001 0.0015 0.002
Sumber : Abdurrachman dkk, 1984 (dalam Kironoto, 2003).

5) Vegetasi
Vegetasi mempunyai pengaruh yang bersifat melawan terhadap pengaruh faktor-faktor lain yang erosif seperti hujan, topografi, dan karakteristik tanah. Pengaruh Vegetasi mampu menangkap (intersepsi) butir air hujan sehingga energi kinetiknya terserap oleh tanaman dan tidak menghantam langsung pada tanah.

2.1.2.2 Karakteristik Erosi
Erosi adalah proses terlepasnya butiran tanah dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya material tersebut oleh gerakan air atau angin kemudian diikuti dengan pengendapan material yang terangkut di tempat yang lain (Suripin, 2002). Pada dasarnya erosi yang paling sering terjadi dengan tingkat produksi sedimen (sediment yield) paling besar adalah erosi permukaan (sheet erosion) jika dibandingkan dengan beberapa jenis erosi yang lain yakni erosi alur (rill erosion), erosi parit (gully erosion) dan erosi tebing sungai (stream bank erosion). Secara keseluruhan laju erosi yang terjadi disebabkan dan dipengaruhi oleh lima faktor diantaranya faktor iklim, struktur dan jenis tanah, vegetasi, topografi dan faktor pengelolaan tanah. Faktor iklim yang paling menentukan laju erosi adalah hujan yang dinyatakan dalam nilai indeks erosivitas hujan (Suripin, 2002). Curah hujan yang jatuh secara langsung atau tidak langsung dapat mengikis permukaan tanah secara perlahan dengan pertambahan waktu dan akumulasi intensitas hujan tersebut akan mendatangkan erosi (Kironoto, 2003 ) Erosi permukaan (sheet erosion) terjadi pada lapisan tipis permukaan tanah yang terkikis oleh kombinasi air hujan dan limpasan permukaan (run-off). Erosi jenis ini akan terjadi jika intensitas dan/atau lamanya hujan melebihi kapasitas infiltrasi dan kapasitas simpan air tanah. Prosesnya dimulai dengan lepasnya partikel -partikel tanah yang disebabkan oleh energi kinetik air hujan dan pengendapan sedimen (hasil erosi) di atas permukaan tanah. Kedua peristiwa berkesinambungan menyebabkan turunnya laju infiltrasi karena pori-pori tanah tertutup oleh kikisan partikel tanah (Asdak, 1995). Fenomena ini dapat mempercepat dan meningkatkan laju erosi pada permukaan tanah.
Untuk memprediksi laju erosi pada permukaan lahan, telah dikembangkan
beberapa model yang ada kebanyakan bersifat empiris (parametrik) yang dikembangkan berdasarkan proses hidrologi dan fisis yang terjadi selama peristiwa erosi dan pengangkutannya dari DAS ke titik yang ditinjau. Model untuk mencari hubungan antara konsentrasi sedimen melayang dan debit terukur. Konsentrasi sedimen diperoleh dari pengambilan sampel air baik secara teratur maupun sesaat pada tempat dimana debit sungai dilakukan pengukuran. Dengan terkumpulnya serangkaian pasangan data, data debit konsentrasi sedimen layang yang bersesuaian di plot pada kertas logaritma, dan regresi kuadrat terkecil diterapkan untuk mendapatkan garis lurus yang paling tepat seialui titik-titik pencar. (Linsley, et.al, 1986; VSBR. 1987; Morgan. 1988, Julien, 1995).
C= aQwb ...................................................................................... (5)
Debit sedimen harian dapat dihitung dengan rumus:
Qs=0,0864CQw, ........................................................................... (6)
Dimana C adalah konsentrasi sedimen layang dalam mg/liter, Qs adalah debit sedimen layang dalam ton/hari, Qw adalah debit aliran dalam m3/detik, a dan b adalah konstanta kalibrasi. Nilai a merupakan indeks kehebatan erosi, a > 60 mengindikasikan erosi hebat. dan a < 26 berarti erosi yang terjadi rendah (Morgan, 1988). Analisis data untuk anak-anak sungai Solo Hulu, Suripin (1998) memperoleh harga b antara 0,37 sampai 1,10. Hubungan yang ditunjukkan oleh persamaan berlaku umum, Persamaan regresi ganda berdasarkan sebagai berikut:
SY = 1,186.10-6.Pm1,384.A1,292.Dd 0397 .Sm 0,l29.Fc 2,51 .......................... (7)
Dimana SY adalah sedimen tahunan (m /tahun), Pm adalah hujan tahunan (cm), adalah luas DAS (km2), Dd adalah kerapatan drainase (km/km2), Sm adalah gradien kemiringan rata-rata DAS (%); dan Fc adalah tanaman penutup lahan (%).
0,2F, + 0,2F2 +0,6F3 +0,8F4 +F5
Fc = .-------------------------------------------........................................ (8)
5

F1 persentase hutan lindung; F2 adalah persentase hutan campuran; F3 persentase
lahan yang baik untuk ditanami, F4 persentase rumput dan belukar; dan F5 adalah
persentase tanah bero.

2.1.2.3 Mekanisme Terjadinya Erosi
Ditinjau dari mekanisme terjadinya erosi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya maka bentuk-bentuk erosi yang dipercepat (accelerated erosion) oleh faktor-faktor diatas bersama dengan faktor campur tangan manusia terhadap lahan, maka erosi ini dibedakan menjadi empat jenis, disamping adanya erosi yang terjadi secara alamiah (nolmal erosion). Kerusakan akibat erosi yang ditimbulkan oleh pengaruh kegiatan manusia lebih besar dari pada kerusakan akibat erosi yang disebabkan oleh kekuatan alam (Hardiyanto. H.C. 2006).
Manusia belum mengetahui dan menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh erosi. Dalam skala khusus dampak yang ditimbulkan oleh erosi adalah kerusakan permukaan tanah (lahan) seperti menurunkan permeabilitas tanah, hilangnya unsur hara ataupun berkurangnya infiltrasi air permukaan kedalam tanah.
Pada sisi lain secara umum dampak yang ditimbulkan oleh erosi permukaan merupakan awal dari proses terjadinya sedimen melalui aliran sedimen dari permukaan lahan yang telah terkikis. Hal ini akan berpengaruh pada kapasitas tampungan sungai, atau waduk akan semakin berkurang dan pada akhirnya akan mengakibatkan kerugian bagi manusia dan lingkungan jika terjadi banjir, (Pengembangan Teknik Sabo, BPDAS, 1997).

2.1.2.4 Limpasan dan Tranportasi Partikel
Limpasan permukaan sebagai pergerakan air di atas permukaan tanah menuju ke suatu sistem, merupakan bagian dari curah hujan yang tidak dapat di infiltrasikan akan mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai terdekat, (Hewllet dan Nutter. 1969; Fleming. 1975) Besarnya laju puncak limpasan permukaan pada suatu saluran aliran dapat digunakan metode rasional
Q = 0,0028 CiA .......................................................................... (9)
Transportasi partikel sedimen yang terbawa arus ditransport dengan 3 cara yaitu (l) Dalam larutan (disolved load), (2) Dalam suspensi (suspended load) dan (3) Sepanjang dasar saluran (bed load). Matrial yang terbawa arus aliran disebut sebagai beban dari muatan (load). Larutan yang terbawa arus berasal dari air tanah dan sedikit dari batuan yang dapat larut sepanjang aliran. Jumlah beban yang dapat terangkut arus tergantung pada iklim dan tatanan geologi.

Gambar 2.2. Kurva menunjukkan kecepatan aliran mengkontrol erosi, transportasi dan pengendapan berbagai butiran material (Hjulstrom, 1939)

Umumnya arus membawa material sebagai suspensi. Material yang dibawanya umumnya berukuran lumpur, silt dan pasir halus. Beban arus ini terbawa dari regolith berbutir halus yang tersapu karena tidak tertutup vegetasi dan sedimen yang dierosi arus itu sendiri sepanjang tepi alur aliran. Beban dapat terangkut akibat kuat arus keatas dalam arus turbulen melebihi dari kecepatan dimana partikel.-partikel lempung dan silt mengendap akibat gaya gravitasi. Dengan demikian partikel-partikel itn dapat lebih lama berada dalam suspensi dari pada dalam air yang non - turbulen, dan akan terendapkan apabila kecepatan arus menurun dan turbulensinya reda, seperti di danau atau laut. Partikel-partikel kasar terbawa sebagai bedload, bergerak sepanjang dasar aliran.

2.1.3 Karakteristik DAS
Karakteristik dan variabel Daerah Aliran Sungai meliputi beberapa variabel yang dapat diperoleh melalui pengukuran langsung, data sekunder, peta dari data penginderaan jauh. Data meteorologi / klimatologi diperoleh dari data sekunder. Disamping itu diperlukan pengamatan dan pengukuran di lapangan bagi data yang membutuhkan ketelitian geometris yang tinggi.
Seyhan (1977) menyatakan bahwa karakteristik DAS dikelompokkan menjadi 2 (dua) katagori yaitu :
1. Faktor lahan (Ground Factors) yang meliputi topografi, tanah, geologi dan geomorfologi.
2. Vegetasi dan penggunaan lahan.
Topografi atau bentuk lahan mempunyai korelasi langsung terhadap aliran permukaan (runoff) dan aliran air bumi, semakin tinggi kelerengan akan berpengaruh terhadap semakin besamya aliran permukaan (run-off) dan aliran air bumi. Tanah, geologi dan geomorphologi dari suatu DAS, berfungsi sebagai faktor kontrol terhadap besar kecilnya infiltrasi, kapasitas penahan air dan aliran air, sedangkan vegetasi dan penggunaan lahan berfungsi sebagai penghambat, penyimpan dan pengatur aliran permukaan dan infiltrasi. Menurut Seyhan (1977) sistem Daerah Aliran Sungai ( watershed ) dapat diamati melalui 3 (tiga) tahapan utama yaitu :
1. Sistem Input (precipitation).
2. Sistem struktur kerja dalam DAS ( operation of the watershed)
3. Sistem output (runoff)
Avery (1975) dan Seyhan (1977) menyatakan bahwa karakteristik fisik (physical characteristic ) dari suatu Daerah Aliran Sungai ( DAS ) terdiri dari :
2.1.3.1 Luas
Luas DAS dapat diukur pada potret udara, peta topografi atau dengan peta - peta planimetri yang telah didelineasi batas - batas yang akan diukur luasnya, dengan menggunakan planimeter atau dot grid atau dengan fasilitas komputer GIS.
2.1.3.2 Bentuk
Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran sungai dan ketajaman puncak discharge banjir. Bentuk daerah aliran sungai ini sulit untuk dinyatakan secara kuantitatif. Dengan membandingkan konfigurasi basin, dapat dibuat suatu indeks yang didasarkan pada derajat kekasaran atau circularity dari DAS.
AVERY (1975) menyatakan indeks untuk bentuk DAS dengan rumus berikut :
……................ (10)
Jika DAS berbentuk lingkaran maka indeks bentuk mendekati 1 (satu) mengembangkan faktor bentuk DAS dengan rumus :
dimana :
..............................(11)
Rf = Faktor Bentuk
A =Luas DAS
Lb = Panjang sungai utama.
Parameter - parameter dalam faktor bentuk DAS seperti luas, panjang, keliling (perimeter) atau diameter dapat diukur pada potret udara atau peta. Formula bentuk DAS yang dihitung berdasarkan rumus circularity ratio dapat pula dituliskan sebagi berikut.
2.1.3.3 Lereng
Kecepatan dan tenaga erosif dari overland flow sangat dipengaruhi oleh tingkat kelerengan lapangan. Untuk mengukur lereng dapat dilakukan dengan menggunakan alat Abney Level atau clinometer. Pada potret udara pengukuran lereng dapat dilakukan dengan menggunakan slope meter atau dengan mencari beda tinggi dengan paralaks meter atau dengan menggunakan rumus AVERY (1975) dan HORTON (1945) menggunakan contour method dengan
rumus :
……................ (12)
dimana :
c = interval kontur (m)
l = total panjang kontur (m)
A = luas DAS (m2)
Jika suatu daerah mempunyai lereng yang seragam, maka lereng rata - rata dapat diperoleh dengan menggunakan rumus :
…......…...... (13)

Atau Lereng = ctg" = c/d
dimana:
c = Perbedaan elevasi antara titik tertinggi dan terendah pada DAS ( m )
d = Jarak horizontal antara elevasi titik dan titik terendah tersebut ( m)

2.1.3.4 Ketinggian DAS
Elevasi rata - rata dan variasi ketinggian pada suatu DAS merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap temperatur dan pola hujan, khususnya pada daerah - daerah dengan topografi bergunung. Ketinggian suatu tempat dapat diketahui dari peta topografi, diukur dilapangan atau melalui foto udara, jika terdapat salah satu titik kontrol sebagai titik ikat. Hubungan antara elevasi dengan luas DAS dapat dinyatakan dalam bentuk hipsometrik ( Hypsometric Curve ).


2.1.3.5 Orientasi DAS
Transpirasi, evaporasi dan faktor - faktor yang berpengaruh pada jumlah air yang tersedia untuk aliran sungai, seluruhnya dipengaruhi oleh orientasi umum atau arah dari DAS. Orientasi DAS secara normal dinyatakan dalam derajat azimuth atau arah kompas seperti arah utara, timur laut, timur dan sebagainya. Tanda arah anak panah yang menunjukkan arah DAS dapat dipakai sebagai muka DAS ( faces ). Arah aliran sungai utama dapat juga dipakai sebagai petunjuk umum orientasi DAS. LEE (1963).

2.1.3.6 Jaringan Sungai
Pola aliran atau susunan sungai pada suatu DAS merupakan karakteristik fisik setiap drainase basin yang penting karena pola aliran sungai mempengaruhi efisiensi sistem drainase serta karakteristik hidrografis dan pola aliran menentukan bagi pengelola DAS untuk mengetahui kondisi tanah dan permukaan DAS khususnya tenaga erosi. Metode kuantitatif untuk mengklasifikasikan sungai dalam DAS adalah pemerian orde sungai maupun cabang - cabang sungai secara sistematis.

2.1.3.7 Pola Aliran
Bentuk pola aliran (drainage pattern) ada bermacam - macam yang masing - masing dicirikan oleh kondisi yang dilewati oleh sungai tersebut. Bentuk pola aliran yang biasa dijumpai ada delapan jenis yaitu : Dendritik, Paralel, Trelis, Rectangular, Radial, Annural, Multibasional, Contorted.
Bentuk pola aliran pada sebagian besar sungai - sungai di Indonesia adalah dendritik dengan kondisi yang berbeda - beda menurut batuannya. Batuan limestone dan shale teranyam bertopografi solusional dapat memiliki pola aliran dendritik. Pada topografi dengan lereng seragam, pola aliran yang terbentuk adalah dendritik medium, sedang pada topografi berteras kecil, pola lairan dendritik yang terbentuk adalah dendritik halus. Pada batuan beku , bentuk pola aliran yang terbentuk sedikit berbeda dengan yang telah dikemukakan diatas. Pada topografi menyerupai bukit membulat di daerah basah, pola aliran yang terbentuk adalah dendritik medium.

2.1.3.8 Kerapatan Pengaliran (Drainage Density)
Metode kuantitatif lain dalam jaringan sungai suatu DAS adalah penentuan kerapatan aliran (dranage density ) yang dinyatakan dalam rumus :
.................(14)
dimana :
Dd = Kerapatan aliran
L = Panjang sungai total
A = Luas DAS (Km2)
Gregory, K.J. and Walling, D.E. 1973. menyatakan bahwa jika nilai kepadatan aliran lebih kecil dari 1 mile/ mile2 (0,62 Km/ Km2), DAS akan mengalami penggenangan, sedangkan jika nilai kerapatan aliran lebih besar dari 5 mile/ mile2 (3,10 Km/ Km2), DAS sering mengalami kekeringan.

2.1.4 Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi secara alamiah mnunjukan gerakan air di permukaan bumi yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfir kemudian ke permukaan tanah dan kembali kelaut .

Gambar 2.3 siklus hidrologi (Asdak, C, 2002)
Siklus hidrologi adalah pola sirkulasi air dalam ekosistem yang terbagi dari beberapa kompenen seperti curah hujan (preciptation), aliran air permukaan (run off) air permukaan (surface water flow), penerapan air kedalam tanah (infittration), aliran air bawah tanah (groundwater flow), penguapan air (evaporation), dan penguapan (transpiration), serta air tertahan pada tanaman dan tanah (interception and depression strorage) yang mana selama berlangsung siklus hidroligi air yang tertahan sementara di sungai dimanfaatkan oleh manusia dan mahluk hidup lainnya untuk berbagai keperluan. Hal yang menyangkut debit air dan kadar lumpur tidak lepas dari limpasan dan erosi karena besarnya limpasan dan erosi ini akan mempengaruhi debit air dan kadar lumpur.

Geologi Regional Kuningan


2.1.1 Geologi Regional
Menurut Van Bemmelen (1949), Jawa Barat dibagi lima satuan fisiografi yang merupakan bagian dari jalur fisiografi dan struktural yang secara umum berarah Barat Timur. Lima satuan fisiografi dengan urutan sebagai berikut :
1. Daerah Paparan Pantai Jakarta ; terbentang mulai dari Serang hingga Cirebon, tersusun atas batuan yang sebagian besar terdiri atas endapan aluvium (endapan banjir dan endapan pantai), endapan lahar dan aliran lumpur hasil gunung api Kuarter.
2. Jalur Bogor ; terbentang mulai dari Jasinga di sebelah barat Bogor hingga menuju Bumiayu di Jawa Tengah. Jalur ini terdiri atas bukit dan punggungan yang merupakan antiklinorium rumit dan cembung ke arah utara, tersusun oleh lapisan Neogen yang terlipat kuat kemudian diikuti oleh kegiatan tubuh batuan beku berupa boss dan neck.
3. Jalur pegunungan Bayah ; terbentang dari sebelah barat jalur Bogor dengan penyebaran yang tidak begitu luas jika dibandingkan dengan penyebaran satuan fisiografi yang lainnya.
4. Jalur Bandung ; terbentang dari sebelah timur Jalur Pegunungan Bayah hingga kesebelah timur Tasikmalaya dan berakhir di Sagara Anakan di pantai Selatan Jawa Tengah. Secara struktural Jalur Bandung merupakan puncak dari antiklin Pulau Jawa yang telah mengalami penghancuran pada akhir zaman Tersier.
5. Daerah Pegunungan Selatan Jawa Barat terbentang dari sekitar Teluk Pelabuhan Ratu di sebelah barat hingga ke Pulau Nusakambangan di sebelah timur. Satuan fisiografi ini juga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Jampang, Pangalengan, dan Karangnunggal.
Berdasarkan pembagian satuan fisiografi wilayah Jawa barat tersebut, maka daerah penelitian termasuk kedalam jalur Bogor bagian Timur.
1). Geomorfologi Regional
Perkembangan morfologi suatu permukaan bumi sangat dipengaruhi oleh berbagai proses, baik yang telah maupun sedang berlangsung, dimana setiap proses akan memberikan atau membentuk ciri-ciri atau kesan tertentu pada daerah tersebut.
Bila proses erosi berlangsung pada suatu daerah dengan tingkatan energi yang berbeda dengan daerah lain, maka morfologi permukaan yang terbentuk pada daerah tersebut akan berlainan. Struktur geologi dan kekerasan litologi merupakan faktor pengontrol utama didalam proses tersebut. Proses geologi yang mempengaruhi suatu daerah tersebut terjadi saling berkaitan satu sama lainnya, perkembangan geomorfologi merupakan cermin dari berbagai proses geologi yang berkembang. Berdasarkan proses geomorfologi di atas dan hasil analisis kenampakan relief permukaan, kemiringan lereng, ketinggian, material penyusun, struktur geologi dan pola pengalirannya, maka daerah penelitian dibagi menjadi 3 (tiga) satuan geomorfologi, yaitu :

a. Satuan geomorfogi perbukitan sedimen curam
Satuan geomorfogi ini menempati bagian berat hingga selatan dengan luas sekitar 55 % dari seluruh luas daerah penelitian, meliputi daerah Gunung Klaban, Lebak herang, Balandongan, Sagara hingga daerah situ kulaon. Elevasinya antara 300 m sampai 650 m di atas permukaan laut. Topografi pada satuan geomorfologi ini relatif curam dengan kemiringan lereng antara 30-40 %. Pola pengaliran yang berkembang pada satuan ini adalah pola dendritik dan sub-radier, dengan sungai-sungai yang relatif mengalir sepanjang tahun, yaitu Sungai Cigolo dan Cipaing, sedangkan anak sungainya bersifat berkala (intermiten). Arah aliran sungai pada umumnya berarah selatan-utara. Tingkat erosi yang berkembang pada daerah ini merupakan tingkat erosi sangat muda, hal ini dicirikan oleh bentuk lembah yang mempunyai huruf ”V” yang menunjukan erosi vertikal relatif lebih intensif dibandingkan ke arah vrtikalnya.
Karakteristik Litologi penyusun satuan geomorfologi ini umumnya adalah batu pasir yang mencerminkan perbukitan-perbukitan curam. Penduduk setempat memanfaatkan satuan geomorfologi yang berupa perbukitan curam ini untuk lahan pertanian, sebagian kecil untuk pemukiman dan umumnya berupa hutan.
b. Satuan geomorfologi perbukitan sedimen bergelombang
Satuan geomorfologi ini berkembang dibagian barat laut, timur dan tengah daerah penelitian dengan luas sekitar 25 % dari seluruh luas daerah penelitian, meliputi daerah Ciwaru, Segong, Garahaji, Walahar, Tegalana, Pabuaran dan Pasir jambu. Satuan ini memperlihatkan suatu perbukitan dengan kemiringan lereng berkisar antara 10-25 %, dengan elevasi berkisar antara 200 m sampai 300 m diatas permukaan laut. Pola pengaliran yang berkembang pada satuan ini adalah pola pengaliran subparalel dan dendritik, dengan sungai-sungai yang bersifat mengalir sepanjang tahun (tetap), dan anak anak sungainya bersifat interrniten. Tingkat erosi pada satuan geomorfologi ini adalah erosi muda, yang diperlihatkan oleh lembahnya yang berbentuk huruf ”V” seperti di hulu sungai Cijambu dan Citaal dan anak anak sungainya. Karakteristik litologi penyusun pada satuan geomorfologi ini terdiri atas Batu Pasir dan Batu Lempung. Penduduk setempat memanfaatkan satuan geomorfologi yang berupa perbukian bergelombang ini untuk lahan pertanian, persawahan, dan pemukiman.
c. Satuan geomorfologi pedataran aluvium
Satuan geomorfologi ini terletak dibagian daerah penelitian dengan luas sekitar 10 % dari seluruh luas daerah penelitian, yang meliputi daerah Galajati dan Gala herang, satuan geomorfologi ini merupakan pedataran dengan elevasi antara 100m sampai 200m diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya antara 0 sampai 8 %. Pola pengaliran yang berkembang pada satuan ini adalah berkelok (meandering), Bagian sungai utamanya adalah sungai Cisanggarung dan citaal yang bersifat mengalir sepanjang tahun (tetap).
Tingkat erosi yang berkembang pada satuan ini adalah tingkat erosi tua, hal ini diperlihatkan oleh bentuk lembah yang menyerupai huruf ”U” yang menunjukan erosi lateral relatif lebih intensif dibandingkan arah vertikalnya.
Karakteristik litologi penyusun pada satuan geomorfologi ini adalah aluvium. Penduduk setempat memanfaatkan satuan geomorfologi yang berupa pedataran ini umumnya untuk lahan pesawahan, pertanian dan pemukiman.
2). Stratigrafi Regional
Van Bemmelen (1949) telah menyusun urutan stratigrafi Jalur Bogor bagian Tengah dan Timur mulai dari lapisan batuan yang berunur paling tua sampai ke lapisan yang berumur paling muda, yaitu :
a. Pemali Beds atau Formasi Pemali menempati posisi paling bawah, terdiri atas serpih, lempung, batupasir kuarsa, napal dan batu gamping dengan kandungan fosil Spirolypeus sp, sehingga menafsirkan umur Formasi permali ini adalah Miosen bawah. Sedangkan Formasi Pemali bagian atas yang mengandung fosil Cyclo/ypeus annu/atus MARTIN, Lepidocycylina sp dan Miogypsina sp. Ditafsirkan berumur Miosen Tengah dan bagian atas dari Miosen bawah. Ketebalan dari lapisan ini minimum 500-1200 meter untuk bagian timur dari Jalur Bogor.
b. Formasi Rambatan terletak selaras diatas Formasi Pemali. Di lembar Majenang, Formasi Rambatan bagian bawah berupa batupasir gampingan, berwarna abu-abu muda jingga kebiruan, konglomerat dengan sisipan napal dan serpih. Bagian atasnya terdiri dari napal abu-abu tua, lempung serpihan dan batu pasir gampingan. Ketebalan formasi ini mencapai 300 meter. Berdasarkan kandungan fosil foraminiferanya, maka umur Formasi Rambatan ini adalah Miosen Tengah (Marks, 1961).
c. Diatas formasi rambatan diendapkan secara selaras Formasi lawak. Dibagian bawah formasi ini batuannya berupa napal kehijauan dengan sisipan batupasir gampingan, batugamping foraminifera. Bagian atasnya berupa napal globigerina dengan sisipan batupasir. Tebal seluruhnya sekitar 150 meter (Kastwo, 1975). Dalam formasi ini hetzel (1935) menemukan fosil Cycloclypeus indofasificus TAN, Radiocyclocclypeus.sp, Tribliolepidina radiata MARTIN dan lain-lain. Umur formasi ini Miosen Atas bagian tengah (Kastowo, 1975).
d. Formasi halang atau Halang Series terletak selaras diatas Formasi Lawak. Dilembar Majenang, formasi ini berupa selang-seling batu pasir andesitik, batupasir tufaan, napal dan lempung serpih. Menurut Hetzel (1935) dibagian atas halang series terdapat sisipan batu gamping koral tidak berlapis. Bagian bawahnya berupa breksi andesit, konglomerat, dan tuf batuapung dengan sisipan batugamping abu-abu dan batu gamping napalan. Formasi Halang merupakan batuan sedimen jenis turbidit dengan struktur sedimen yang jelas seperti perlapisan bersusun, konvolut laminasi, seruling dan lain-lain. Ketebalan formasi ini seluruhnya mencapai 2400 meter. Fosil banyak ditemukan dalam formasi ini, berupa fosil moluska, koral dan foraminifera. Berdasarkan fosil-fosil yang ditemukan dalam formasi, maka umur formasi halang ini adalah Miosen Atas (Kastowo, 1975).
e. Formasi halang ditutupi oleh Formasi Kumbang secara tidak selaras (Kastowo,1975). Litologinya terdiri atas breksi gunung api andesit, pejal dan tidak berlapis, termasuk aliran lava, tufa berwarna abu-abu dan batupasir tufaan, konglomerat bersisipan lapisan megnetit. Breksi terpropilitisasi terdapat didaerah yang sempit. Ketebalan formasi ini seluruhnya mencapai 2000 meter. Berdasarkan kedudukan stratigrafinya, umur formasi kumbang adalah Pliosen Bawah (Hetzel, 1935 dan kastowo, 1975). Sedangkan Van Bemmelen, 1949) menyebutkan bahwa umur Formasi ini adal Miosen atas.
f. Formasi Tapak terletak selaras di atas Formasi Kumbang. Bagian bawah terdiri atas batu pasir kasar kehijauan, ke arah atas berangsur-angsur berubah menjadi batupasir kehijauan dengan sisipan napal pasiran berwarna abu-abu sampai kekuning-kuningan, batu gamping terletak di bagian atas. Ketebalan maksimum Formasi ini sampai 500 meter. Umur Formasi tapak adalah Pliosen tengah bagian bawah (Hetzel,1935 dan kastowo,1975).
g. Diatas Formasi Tapak diendapkan secara selaras Formasi Kalibiuk. Dilembar Majenang, Formasi Kalibiuk terdapat di daerah sebelah utara Bentarsari. Batuan bagian bawah berupa batulempung dan napal biru berfosil, bagian sebelah atasnya mengandung lebih banyak sisipan batupasir. Umur Formasi kalibiuk ini adalah Pliosen Tengah (Hatzel,1935 dan Kastowo, 1975).
i. Formasi Kaliglagah terletak tidak selaras di atas Formasi kalibiuk (Van Bemmelen,1949 dan Kastowo, 1975). Bagian atas terdiri batupasir kasar dan konglomerat, batulempung dan napal semakin berkurang dibagian atas. Bagian bawahnya terdiri atas batulempung hitam, napal hijau, batupasir abdesitik dan konglomerat. Ketebalannya sekitar 350 meter (kastowo, 1975). Sedangkan umur dari Formasi ini adalah Pliosen Atas (Hetzel,1935 dan Kastowo,1975).
j. Selanjutnya Formasi Mengger terletak tidak selaras diatas Formasi Kaliglagah. Pada lokasi tipenya di Gunung Mengger – Bumiayu, litologinya terdiri atas tuf kelabu dan batupasir tufaan dengan sisipan konglomerat dan lapisan tipis pasir magnetik. Umur formasi ini adalah Plistosen Bawah (Van Bemmelen, 1949).
k. Formasi mengger ditutupi secara selaras oleh Formasi Gintung. Dilembar Majenang litologinya terdiri atas konglomerat bersisipan batupasir abu-abu kehijauan, batulempung pasiran, lempung, batupasir gampingan dan konkresi batupasir napalan. Umur Formasi Gintung ini adalah Plistosen Tengah (Kastowo, 1975). Kegiatan vulkanik didaerah Zona Pegunungan Serayu Utara pada plistosen Atas menghasilkan Formasi Linggopodo dan menutupi batuan yang telah ada sebelumnya dengan membentuk ketidakselarasan menyudut (Van Bemmelen,1949). Menurut Kastowo (1975), dilembar majenang, Formasi Linggopodo terletak selaras diatas Formasi Gintung. Batuan yang menyusun Formasi ini berupa breksi, tuf, endapan lahar bersusunan andesit, berasal dari Gunung Slamet Tua. Umur Formasi Linggopodo adalah Plestosen Atas (kastowo,1975). Selanjutnya kegiatan vulkanik muda dan pembentukan endapan terus berlangsung hingga kini dengan membentuk endapan Resen. Endapan-endapan Resen tersebut berupa endapan hasil gunung api muda dari gunung Ciremai, Gunung Sawal, Gunung Slamet disamping itu endapan lainnya adalah kipas aluvium, undak-undak sungai dan endapan aluvial.
3). Struktur Geologi Regional
Struktur Geologi yang di jumpai di daerah peneletian merupakan gejala dari penyebaran struktur secara regional. Struktur di Pulau Jawa pada umumnya berarah Barat-Timur, Zona Bogor di batasi oleh sesar sesar yang berarah Baratlaut-Tenggara. Daerah penelitian termasuk ujung timur Zona Bogor yang terlipat kuat sehingga menghasilkan suatu antiklinorium yang berarah Barat-Timur. Selain itu terjadi sesar-sesar yang menyebabkan pergeseran dari sumbu-sumbu antiklin dan terjadi setelah pengendapan Formasi Halang.
Van Bemmelen (1949) mengatakan bahwa Zona Bogor merupakan satu dari lima jalur fisiografi di daerah jawa barat dan sebagai daerah antiklinorium yang sedikit cembung ke utara, membentang dari barat ke timur mulai dari Rangkasbitung sampai ke daerah Bumiayu telah mengalami dua kali periode tektonik, yaitu : (a) Periode Tektonik Mio-Pliosen, (b) Periode tektonik Plio-Plistosen.
Hadiwisastra dan Martodjojo (1977) menamakan Zona Bogor ini sebagai Palung Bogor yang memisahkan paparan benua di bagian utara dan Jawa Platform di bagian selatan. Daerah ini terkenal sangat aktif sepanjang Zaman Tersier yang membentuk Antiklinorium yang kuat yang disebabkan oleh tekanan yang membentang mulai dari Rangkasbitung sampai ke Bumiayu dengan arah Barat-Timur. Pada akhir Miosen Tengah terbentuk lipatan dengan inti terdiri atas endapan-endapan yang berumur Miosen Tengah dan sayap-sayapnya dibentuk oleh endapan-endapan yang berumur Pliosen dan Plistosen Bawah. Lipatan pada umumnya cenderung agak cembung kearah utara, akibat tekanan yang kuat yang berasal dari selatan. Pada plistosen terjadi sesar-sesar naik.
Pada periode tektonik Mio-pliosen terjadi pembentukan geoantiklin Pulau Jawa yang terletak dibagian Selatan Pulau Jawa. Timbulnya gaya-gaya yang berarah Utara menghasilkan struktur lipatan dan sesar dibagian Utara. Gejala itu dibuktikan dengan dapatnya ketidakselarasan antara Formasi Cidadap dengan Formasi Kaliwangu yang berumur Pliosen Bawah (Van Bemmelen, 1949).
Antiklinorium yang terbentuk pada Miosen Atas atau Mio-Pliosen diterobos oleh tubuh batuan beku dasit atau andesit homblenda yang terdiri atas :
1. Boss yang terdapat diantara Jalur Bogor bagian Barat dan Tengah.
2. Kelompok boss dan neck di Purwakarta yang merupakan perbatasan antara Jalur Bogor bagian Tengah dan Timur.
3. Ekstrusi Breksi Kumbang yang terletak dibagian paling timur dan jalur Bogor.
Pada periode tektonik Plio-Plistosen berlangsung pula proses perlipatan dan pensesaran yang diakibatkan oleh gaya-gaya yang berarah utara. Gaya-gaya tersebut diakibatkan oleh adanya amblesan dibagian Utara Jalur Bandung yang kemudian menimbulkan struktur lipatan serta sesar naik dengan arah Utara. Akibat adanya tekanan yang kuat mengakibatkan terbentuknya sesar naik di bagian Utara jalur Bogor yang merupakan suatu jalur memanjang antara Subang hingga gunung Ciremai sepanjang kurang lebih 70 km, sesar naik ini dikenal dengan Baribis Thrust. Berdasarkan konsep wrench tectonic, Situmorang,dkk (1971) telah membuat peta tektonik Pulau Jawa berupa peta struktur lipatan dari pola sesar. Beberapa unsur tektonik adalah sebagai berikut :
1. Sistem rekahan meridional yang terbentuk di Pulau Jawa merupakan hasil dari kompresi lokal yang berarah Utara ke Selatan yang erat hubungannya dengan pergerakan aktiv lempeng Samudera Hindia terhadap lempeng Benua Asia.
2. Wrench orde pertama, kedua, dan ketiga mengikuti sistem lipatan primer, dimana ditemukan hanya beberapa lipatan.
Berdasarkan pengukuran arah dan jurus kemiringan lapisan dilapangan, Situmorang dkk (1971) telah memplotnya kedalam diagram rosset, kemudian menarik kesimpulan bahwa gaya utama yang bekerja adalah gaya yang berarah Barat daya-Timur laut.
Koesoemadinata dan Pulonggono (1975) berpendapat bahwa jalur bogor yang memanjang kearah Tenggara dan membentuk cekungan turbidit Cirebon Banyumas memiliki kesamaan dengan suatu geantiklin. Keadaan ini ditunjang oleh penyelidikan gaya berat di lembah citanduy yang menunjukan adanya suatu cekungan dalam yang berarah Barat laut-Tenggara yang ditempati oleh sedimen Miosen bercirikan endapan flysch hasil mekanisme pengendapan arus turbidit. Cekungan tersebut di tafsirkan sebagai patahan dasar (basement fault) yang terbentuk pada zaman tersier, dimana dataran Sunda yang lenkorsolidasi pada akhir mesozoikum mengalami penseseran yang menghasilkan suatu sistem sesar dalam bentuk ”horst dan graben” dan mengakibatkan berlangsungnya sedimentasi non marine yang tebal disertai kegiatan gunung api secara lokal. Suatu cekungan pada prinsipnya dikontrol oleh patahan dasar yang berpengaruh terhadap pembentukan sedimen dalam cekungan tersebut (koesoemadinata & Pulonggono, 1975).